Judul:Pendekar Sendang Drajat “Memburu Negarakertagama”
Penulis: Viddy AD Daery Terbit: Februari 2011 Penerbit: Metamind- Tiga Serangkai Group –Solo
ISBN:978-979-30 Ukuran: 20 cm Cover:soft cover Halaman: 146 halaman + XXX Kategori:fiksi sejarah
Lamongan,
siapa kini yang tidak mengenal kota atau daerah itu? Semenjak Bupati
Masfuk menyulap daerah miskin dan minus serta langganan banjir itu
menjadi kota indah gemerlapan dan bebas banjir ( sampai terancam banjir
lagi, namun justru karena kelemahan kabupaten-kabupaten tetangganya yang
gagal mengendalikan banjir lalu meluberi Lamongan ), kini Lamongan dan
Bupati Masfuk menjadi bahan pembicaraan semua kalangan di seluruh
Indonesia.
Apalagi setelah para pedagang soto Lamongan, pecel lele
dan sea-food muncul di tenda-tenda kaki-lima seluruh jengkal tanah
Indonesia, Lamongan menjadi cap dagang yang paten,bahkan pengusaha Cina
non-Lamonganpun banyak yang mendirikan restoran besar dengan merek Soto Lamongan,termasuk yang terbakar ludes di Jakarta Barat baru-baru ini.
Nah,apakah
Lamongan zaman “prasejarah” juga top dan seterkenal Lamongan masa kini?
“Prasejarah—dalam tanda petik” di sini bukan berarti Lamongan zaman
sebelum Masehi,namun Lamongan sebelum dicatat sejarah Indonesia yang
notabene baru dibicarakan mulai di era Bupati Masfuk.Karena Lamongan
sejak Bupati pertama sampai sebelum Masfuk, dianggap Lamongan yang tak
perlu digubris,bahkan sempat menjadi daerah yang selalu dijadikan
olok-olok oleh para pelawak ludruk di pentas tobong maupun di layar TVRI
di tahun 80-an,sebagai daerah minus dimana “yen ketigo ora iso cewok,
yen udan ora iso ndhodhok” yang maknanya ialah jika kemarau tidak bisa
membersihkan najis, jika hujan tidak bisa duduk manis”..
ERA PENDEKAR
Nah,
era Lamongan zaman pendekar silat dan zaman wali atau sunan
( abad 16 )
inilah yang dijadikan setting elaborasi novel “Pendekar Sendang Drajat”
( PSD ) karya Viddy AD Daery—sastrawan Indonesia yang justru terkenal
di Singapura,Malaysia,Brunei dan Thailand selatan daripada di negaranya
sendiri.
Lamongan sendiri waktu itu,sebagai kota malah belum
ada,dalam novel PSD seri pertama yaitu “Pesisir Utara Majapahit di abad
16 M” dikisahkan secara selintas bahwa beberapa kyai dari Laren,Karang
Cangkring, Latukan,Duri, Ngambeg , Drajat dan sebagainya berkumpul di
pesantren Badu Wanar Pucuk, untuk membahas pembentukan kota
katumenggungan/ kadipaten Lamongan dari desa kecil Keranggan Lamong. Dan
yang dicalonkan sebagai Tumenggung/Adipati adalah Raden Hadi atau
Sunan Hadi yang masih kerabat Sunan Giri, sebagai panutan kekuasaan
politik-keagamaan di Jawa Timur pada saat itu.
Nah,ketika Lamongan
justru baru direncanakan pembangunannya,desa-desa yang kini dilupakan
sejarah seperti Laren,Pringgoboyo, Karang Cangkring,Sendang
Duwur,Drajat,Trenggulun,Centhini, Brumbun dan sebagainya dalam novel PSD
diceritakan sudah menjadi kota ramai ( untuk ukuran zaman dulu ) karena
mereka rata-rata berlokasi di tepi bengawan Solo atau laut Jawa (
pantura ),dan karena itu menjadi desa/kota perdagangan yang banyak
berinteraksi dengan para saudagar-pelayar dari pulau lain bahkan dari
Negara lain seperti Yaman/Hadramaut,Persia,Gujarat,Malaka dan Cina.
Bahkan
diceritakan beberapa oknum bangsa Eropa juga sudah mulai datang
berlabuh dan tujuan mereka tidak hanya berdagang tapi juga memata-matai
kekuatan politik kerajaan-kerajaan keci/pesantren di pantai utara Jawa,
dan karena itu mereka lalu diperangi para pendekar silat garis keras
yang dipimpin Pendekar Syamrozi dari Pesantren Trenggulun. Mungkinkah
mereka adalah leluhur Amrozi?
Boleh jadi,novel PSD bermain dengan
symbol-simbol,karena sebagai karya sastra,juga sangat mungkin bermuatan
dakwah dan pencerahan seperti zaman “roman bertendens” di ranah
kesusastraan Indonesia masa lalu.
Jasa besar novel PSD adalah
menyingkap sejarah masa lalu Lamongan yang minim data dan amat jarang
dibicarakan oleh sejarawan Indonesia,padahal kalau merujuk beberapa
situs dan folklore Lamongan,ada banyak hal yang bisa disumbangkan ke
khasanah sejarah nasional Indonesia,antara lain bahwa desa Modo adalah
tempat kelahiran Mahapatih Gajah Mada. Juga Bre Parameswara atau Raja
Pamotan ( Lamongan zaman Majapahit ) adalah raja yang lari ke Palembang
lalu ke Singapura lalu mendirikan Kerajaan Malaka. Jadi bisa dikatakan
bahwa Malaysia itu milik wong Lamongan.Yaitu Gajah Mada ( penguasa
Nusantara ) dan Bre Pamotan ( pembangun kerajaan Malaka ).
Sedang
PSD jilid atau seri 2 yang berjudul “Memburu Kitab Negarakertagama”,
mengisahkan bahwa Pendekar Sendang Drajat kedatangan serombongan tamu
dari Kerajaan Johor-Malaka yang sedang melarikan diri dari kisruh
perang di negaranya.
Mereka berlayar ke Tanah Jawa untuk
mempelajari “Kitab Desawarnana aliasNegarakertagama”. Dalam perjalanan
mengantar para pendekar Melayu mencari Kitab Negarakertagama itulah,
sepanjang perjalanan banyak ditemui rahasia-rahasia sejarah lokal
Lamongan yang banyak diungkap oleh Viddy AD Daery yang kaya pengetahuan
mengenai kisah-kisah lokal yang tentunya sangat jarang diketahui oleh
peminat sejarah nasional yang menafikan folklor.
Padahal bagi
sejarawan aliran Annales kelas dunia, kini sudah menyatakan bahwa peran
folklore lokal tidak bisa diremehkan sebagai sumber sejarah yang valid.
Kinilah
saatnya, di zaman reformasi ini, pikiran para ilmuwan sejarah juga
harus direformasi. Folklor-folklor lokal sudah waktunya layak menjadi
sumber sejarah yang terpercaya, tentunya setelah melalui uji penyaringan
unusr-unsur mitos dan mistik-gaibnya dibersihkan terlebih dahulu. Toh
unsur mitos dan gaib itu sebenarnya juga adalah kenyataan yang memang
ada di Nusantara juga.
No comments:
Post a Comment