Tuesday, May 7, 2013

Catatan Kaki 50: Ketika Pulau Muria Masih Terpisah dari Pulau Jawa yang masih ada hubungan dengan kampung badu wanar

rancangan awal, waktu masih berupa lampiran draft novel. sebelum didesain sangat menarik, yang kemudian menjadi bonus novel Penangsang.
“Bonus peta Jawa abad lima belas. Ketika pulau Muria masih terpisah dari pulau Jawa.”
Pada sudut kanan atas novel Penangsang, dalam sebuah desain pojokan buku yang seperti tengah membuka, terbaca kalimat tersebut.
Karena memang itulah bonus dari novelku. Yakni sebuah peta lama yang menggambarkan bahwa dulunya pulau Muria pernah ada. Dan letaknya terpisah dari pulau Jawa.
Mungkin banyak yang tidak mengetahuinya. Bahkan malah bertanya-tanya, “Pulau Muria itu di mana?”
Karena itulah, kemudian kusertakan dalam lampiran novelku. Sekadar untuk memberi pemahaman awal, bahwa ada sesuatu yang bisa untuk menambah pengetahuan. Yang melengkapi semangat novelku, yang ingin menawarkan alternatif penafsiran.
Aku pertama menemukan itu, ketika penasaran dengan letak Demak, yang konon merupakan kerajaan maritim. Sebuah kesultanan yang terletak di tepi laut. Sebagai kejayaan pelanjut Majapahit yang telah runtuh karena kericuhan dari dalam, sejak perang Paregreg.

Dan Demak berjaya lebih dari setengah abad lamanya sebagai negara yang menguasai lautan. Beberapa kali sempat menyerang Portugis di Malaka, dengan armada laut yang sangat tangguh. Bahkan mengusirnya dari Sunda Kelapa dengan penuh kemenangan, hingga mengganti namanya menjadi Jayakarta. Dan semua itu karena ketangguhan kapal perang Demak, sebagai kerajaan maritim yang diakui hingga seberang lautan.
Jadi mestinya, Demak memang berada di tepi lautan, pada pesisir utara pulau Jawa.
Sebab konflik kebijakan kemudian membuat Demak runtuh dari dalam. Ketika Sunan Kalijogo tidak menyetujui kebijakan Demak yang lebih banyak memikirkan daerah pesisir. Sejak era Raden Patah hingga Pati Unus, yang membentangkan kekuasaan dari pesisir kilen hingga bang wetan. Dari Banten, Jayakarta, Cirebon, Pekalongan, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Tuban, Lamongan, Sedayu, Giri, Gresik, hingga Pasuruwan.
Bahkan di akhir kekuasaan Sultan Trenggono, hendak melebarkan kekuasaan sampai ke ujung timur pulau Jawa, ke Panarukan dan Blambangan. Namun rencana itu tidak terlaksana, karena sang Sultan yang menjadi panglima terbunuh di benteng Panarukan.
Menurut Sunan Kalijogo, karena terlalu memikirkan pesisir, Demak sampai melupakan pedalaman. Untuk itulah, ia menyetujui Joko Tingkir ketika memindah kerajaan Demak ke Pajang. Yang kemudian justru menjadi awal keruntuhan Demak sebagai kekuatan maritim.
Penasaranku adalah, mengapa Demak disebut sebagai kerajaan maritim?
Padahal ketika aku datang ke sana, letak kota Demak sangat jauh dari laut. Bahkan jauhnya jarak ke pantai, lebih dari 30 kilometer. Dan hanya ada sungai kecil yang menghubungkan dengan lautan, yaitu sungai Tuntang yang bermata air di Rawa Pening.
Aku pun terus mencoba mencari jawabannya. Dan titik cerah itu kemudian kudapatkan pada beberapa buku yang kubaca.
Pertama aku menemukan penjelasan, dari dua buku penelitian Sjamsudduha, terbitan JP Books. Yang satu berjudul ‘Walisanga Tak Pernah Ada?’ dan satunya ‘ Sejarah Sunan Ampel’. Menurut buku yang merupakan telaah naskah pegon Badu Wanar dan Drajat itu, pendiri kesultanan Demak adalah Raden Hasan. Seorang santri utama Sunan Ampel di pesantern Ampeldenta yang kemudian diangkat menantu. Dan setelah menjadi sultan Demak dikenal sebagai Raden Patah.
Konon pesantren Ampeldenta yang didirikan Sunan Ampel sengaja memilih tempat di tepi lautan, yang juga di daerah pinggiran sungai. Suatu tempat yang subur lahannya, dan strategis karena berhubungan langsung dengan lautan. Yang kemudian dari kapal-kapal yang merapat di pelabuhan, akan mudah mendapatkan bermacam pengetahuan dari seberang lautan. Dan dari pedagang yang singgah akan memudahkan untuk berjual beli barang dagangan.
Dengan pertimbangan yang sama pula, kemudian Raden Patah mendirikan pesantrennya di daerah Glagahwangi. Yang juga berada di tepi laut, dan di pinggiran sungai besar.
Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Sunan Ampel menyuruh Raden Patah untuk mendirikan pesantren. Dan menurutnya, tanah yang baik adalah kalau menemukan tumbuhan glagah yang berbau wangi. Maka berangkatlah ia menuju ke arah barat dari pesantren Ampeldenta. Dan bertemulah dengan lahan yang banyak tumbuhan glagah di sebuah tepian sungai dan lautan, yang menebarkan bau harum.
Maka dibangunlah sebuah pesantren di tanah berawa tersebut. Semakin hari, perkampungan nelayan itu semakin ramai, dan Raden Patah menjadi pemimpinnya. Sebagai putra Prabu Kertabumi, ia kemudian dipercaya mendirikan sebuah kadipaten baru. Kadipaten bawahan Majapahit bernama Kadipaten Glagah Wangi. Dan Raden Patah pun menjadi adipatinya.
Jadi daerah Glagah Wangi, yang menjadi cikal bakal Kesultanan Demak, memang dulunya berada di tepian pantai. Persis seperti pesantren gurunya, Ampeldenta di Surabaya.
Itulah jawaban atas penasaranku yang pertama.
Sedang penjelasan lebih lengkap, kudapatkan dalam tiga buku sekaligus. Pertama adalah buku penelitian H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud yang sangat terkenal, ‘Kerajaan Islam Pertama di Jawa’. Penjelasan yang  juga dikuatkan buku Dennys Lombard yang tak kalah monumental, ‘Nusa Jawa Silang Budaya’. Serta buku Prof. Dr. Slamet Muljana, ‘Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara.’
Dalam buku ‘Kerajaan Islam Pertama di Jawa’ aku dapatkan keterangan tentang letak Demak yang berada di tepi laut, pada bab yang kedua. Di sana dituliskan, bahwa letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Karena pada jaman dulu, wilayah Demak terletak di tepi selat antara pulau Muria dan pulau Jawa.
Bahkan dijelaskan pula, sebelumnya selat yang membelah antara pulau Muria dan pulau Jawa lumayan lebar. Sehingga dapat dilayari, dan kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Begitu pun sebaliknya. Tanpa perlu mengitari pelabuhan Jepara di pulau Muria pada ujung utara.
Dalam sejarah juga kita temukan hubungan Demak dan Jepara yang amat dekat. Putri sulung Sultan Trenggono yang bernama Ratu Kalinyamat mendiami wilayah tersebut, bahkan mampu memajukannya. Melebihi pelabuhan Semarang, karena keuntungan pantai Jepara yang tenang terlindung tiga gugusan bukit. Dan pada masa itu, Jepara terletak di pulau Muria.
Jadi dulunya, jalur jalan raya yang menghubungkan Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, hingga Lasem masih berupa perairan. Selat yang memisahkan pulau Jawa dan pulau Muria. Namun pada abad tujuh belas, selat tersebut tidak lagi dapat dilayari, karena pengendapan lumpur .
Bahkan pendangkalan yang parah, menyebabkan Demak memindah pelabuhannya ke Jepara. Hingga ketika menyerang portugis yang menjajah Malaka, Pati Unus pun melepas angkatan lautnya dari pantai Jepara. Demikian juga dengan Fatahillah ketika merebut Banten dan Sundakelapa. Dan Sultan Trenggono ketika menaklukan Pasuruwan dan Panarukan. Juga Ratu Kalinyamat ketika kembali mengulang penyerangan terhadap Malaka.
Ulasan dari bab ‘Kelahiran dan Kejayaan Kerajaan Demak’ itu cukup mengobati penasaranku.
Dan makin terpuaskan ketika membaca ‘Nusa Jawa Silang Budaya’. Karena dalam buku yang sangat lama kutunggu penerbitan ulangnya itu, terdapat peta pulau Jawa abad lima belas. Ketika pulau Muria masih merupakan pulau kecil di utara Demak.
Aku sengaja menyertakan peta itu dalam lampiran naskah novelku, karena untuk memudahkan bayangan pembaca. Bahwa dulu Demak memang berada di tepi lautan.
Aku sertakan peta itu bersama lembaran silsilah Raden Patah, Joko Tingkir, dan Penangsang. Agar pembaca semakin mudah memahami tokoh yang ada dalam novelku, dan hubungan antar mereka. Yang kalau tidak dipandu silsilah, mungkin akan meruwetkan.
Karena kepentingan itulah, penerbit menyertakannya sebagai lampiran di belakang novelku. Dan peta Jawa abad lima belas didesain sangat cantik, sebagai bonus untuk novelku.
Aku menyetujuinya. Semoga bermanfaat bagi pembaca, untuk sekadar menambah wawasan sejarah kita semua.
Bismillah.

No comments:

Post a Comment